Sumber Foto:
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Bulan
Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Kata berkah itu sendiri berasal dari bahasa
Arab yaitu (Barokah) yang berarti nikmat, bertambahnya kebaikan. Dalam Syarah
Shahih Muslim karya Imam Nawawi menyebutkan, berkah memiliki dua arti: (1) tumbuh,
berkembang, atau bertambah; dan (2) kebaikan yang berkesinambungan.
Dalam
keseharian kita sering mendengar kata “mencari berkah”. Maksud “mencari berkah”
adalah mencari kebaikan atau mempertebal kebaikan, baik kebaikan berupa bertambahnya
harta, rezeki, maupun berupa bertambahnya kesehatan, ilmu, dan amal kebaikan (pahala).
Namun
penggunaan defenisi “mencari berkah” di kalangan manusia sekarang ini hanya saja
segelintir orang yang mampu memahami definisi dengan sebenarnya. Mayoritas diantara
mereka hanya berfikir “mencari berkah” itu hanya semata mencari rezki yang banyak
dan harta yang berlimpah. Begitulah yang terlihat di dunia Ramadhan masa kini, baik
itu di Indonesia maupun di Aceh sendiri.
Didunia
Ramadhan, bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk refleksi diri dan mendekatkan
diri kepada Tuhan. Diantara banyaknya cara mendekatkan diri pada Tuhan, Kita harus
berusaha sekuat-kuatnya untuk menjalankan perintah Allah. Mematuhi perintah-Nya,
dan menjauhi laranganNya, serta merasa bersyukur atas segala nikmat pemberian Allah
adalah jalan pengabdian yang pantas dilakukan mausia terhadap sang Pencipta.
Namun
kenyataan yang terlihat di tanah air saat ini sangat bertolak belakang dengan hal
yang sewajarnya dilakukan. Dalam hal ini, masih banyak masyarakat tanah air menganggapnya
bulan ramadhan adalah bulan pusatnya perbelanjaan. Oleh karena itu, tidak patut
diherankan ketika para pedagang di tanah air dadakan bermunculan di berbagai tempat.
Para
pedagang akan memanfaatkan moment yang bermakna ini saat bulan ramadhan tiba, karena
meraka tahu, kebutuhan konsumen lebih meningkat dibulan Ramadhan ketimbang bulan
laiinya. Contoh kasus yang sering terjadi di kalangan masyarakat, berbelanja makanan
hanya untuk memenuhi kulkas, meja makan, dan lemari stok makanan di rumah mereka
sendiri.
Ini
akan terus berlangsung selama satu bulan dan mencapai puncaknya saat hari Idul Fitri
hampir tiba. Ini telah menjadi pola tahunan masyarakat Indonesia dalam bulan
Ramadhan. Pola tahunan semacam ini sudah terbentuk dan akan terus kembali terulang
di tahun berikutnya. Apa yang membuat perilaku berbelanja kita berubah saat Ramadan
dan hari raya Idul Fitri?
Phillipia
Lally, Ahli psikolog asal London dalam penelitiannya tahun 2010 tentang bagaimana
habit atau kebiasaan terbentuk, menuliskan bahwa kebiasaan adalah sebuah
aktivitas yang memiliki pola perilaku yang sama secara otomatis. Otak makhluk hidup
mampu menyimpan memori dalam bentuk pola. Secara tidak sadar, kehidupan kita hari
ini pun merupakan merupakan kumpulan dari kebiasaan sebelumnya.
Sudah
lazim terjadi dalam kehidupan kita, belanja saat Ramadhan merupakan sebuah kebiasaan.
Secara otomatis kita merasa perlu untuk berbelanja makanan. Sama halnya di hari
raya Idul Fitri, meskipun pakaian sudah penuh sesak di lemari pakaian, kita tetap
akan merasa perlu mengeluarkan uang untuk membeli pakaian baru.
Kelakuan-kelakuan
yang demikian, sangat diprihatinkan untuk tercapainya suatu berkah di bulan Ramadhan.
Berkah yang diharapkan yang berupa kebaikan yang berkesinambungan akan sangat
sulit di bangun kembali. Karena tanpa kita sadari, cita-cita utama sebagai refleksi
diri dan mendekatkan diri pada Tuhan itu bisa terbawa kearah cita-cita cadangan
dengan perilaku yang dibiasakan dalam berbelanja, fikiran kita akan selalu terusupi
dengan berbelanja yang banyak, sehingga upaya untuk menjadikan kebiasaan berupa
kebaikan yang berkesinambungan akan sangat sulit bagi kita membangunkannya
kembali. Dan satu-satunya cara agar kita bisa memutarkan kebiasaan pada
kebaikan adalah dengan cara berasumsi bahwa keberkahan itu tidak hanya milik duniawi
saja, akan tetapi juga milik ukhrawi.
Penulis:
Rahmad Maulidar, S.Pd,I.
Alumni Sekolah Hamzah
Fansuri.