Our Feeds
Diberdayakan oleh Blogger.

22 September 2018

Unknown

Mubasysyir Getarkan Lapangan Saat Upacara Kemerdekaan RI ke-73





Muhammad Mubasysyir melantuni bacaan A-Quran saat upacara proklamasi kemerdekaan RI ke 73 di lapangan sepak bola kecamatan Mutiara Timur Pidie, Aceh.

11 Agustus 2018

Unknown

SEMARAK..!! Pembukaan PKA 7 dimeriahkan dengan berbagai macam konvoi





23 Kabupaten dan Kota dalam provinsi Aceh mengikuti konvoi dengan memaksimalkan tampilan budaya kebanggan masyarakat Aceh di acara pembukaan PKA ke-7 tahun 2018.
Unknown

Subhanallah!!! MERDUNYA suara Nadia Urizky, Finalis Tilawah + Hafiz 5 Ju...





Nadia Urizky, Putri asal Pidie-Aceh ini telah meraih beberapa juara di tingkat Kabupaten, Provinsi dan Nasional dari berbagai cabang Mushabaqah Tilawatil Quran (MTQ).

10 Agustus 2018

Unknown

Anda Harus Nonton, Tampilan Muhammad Reza Insani, Juara 3 Tilawah dan Ha...





Muhammad Reza Insani utusan Kafilah Grong Grong berhasil meraih juara 3 golongan hafiz 1 juz dan tilawah pada MTQ ke-35 Pidie yang di selenggarakan di Kecamatan Mila.

28 Juli 2018

Unknown

Muhammad Mubasysyir, Peserta Finalis Termuda Cabang Tilawah dan Tahfidz ...



Suara Emas bocah 9 tahun, Muhammad Mubasysyir menggentarkan Pidie dengan bacaan tilawah & Tahfidznya di ajang Mushabaqah Tilawatil Quran. Peserta ini berasal dari Khafilah Mutiara Timur tampil sebagai Finalis Termuda di MTQ Ke-35 Pidie yang diselenggarakan di Kecamatan Mila.

22 November 2016

Unknown

MAKALAH : Paradigma Ilmu-Ilmu Islami

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Semenjak ada nya manusia di permukaan buni ini, dengan perubahan waktu pula manusia-manusia tersebut melakukan interaksi-interaksi antar sesamanya. Sehingga, perkumpulan antar-antar interaksi tersebut menciptakan budaya, dan budaya yang telah mencapai strata yang paling tinggi akan tercapai nya peradaban.

Berbicara mengenai peradaban kami akan sedikit membahas peradaban islam secara parsial. Peradaban islam yang banyak di awali oleh para tokoh-tokoh islam di mulai dari lahirnya nabi besar Muhammad SAW, yang telah di pilih oleh Allah SWT untuk membimbing umat manusia atau mengajarkan tentang akhlakul karimah di permukaan bumi ini dengan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Atas misi nya tersebut islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Swt tersebut, islam memberikan pernyataan bahwa setiap orang yang beriman dan berilmu pengetauan maka akan di tinggikan derajat nya oleh Allah Swt, yang sebagai penguasa alam raya ini.

Hal ini ada kaitannya dengan iman dan ilmu, dimana islam sangat perperan besar dalam proses perkembangan-perkembangan ilmu pengetauan didunia, seperti yang telah di buktikan oleh para filosof muslim, dengan itu makalah ini bertujuan untuk menguraikan sedikitnya pembahasan dari peran-peran islam terhadap manusia dalam melakukan pencapaian ilmu pengetauan maupun sebagai aktivitas manusia di permukaan bumi ini




BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Agama dan Islam

Dalam kalangan masyarakat, selain kata agama juga dikenal dengan kata addin (الدين) dari bahasa arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata yaitu: a artinya tidak, dan gam yang berarti pergi, jadi agama diartikan dengan tidak pergi, yaitu tetap di tempat, dan diwarisi secara turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Ada lagi yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntunan. Memang agama mengandung ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.[1]

Islam berasal dari kata Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang secara kebahasaan berarti 'Menyelamatkan' misal teks 'Assalamu Alaikum' yang berarti Semoga Keselamatan menyertai kalian semuanya. Islam atau Islaman adalah Masdar (Kata benda) sebagai bahasa penunjuk dari Fi'il (Kata kerja) yaitu 'Aslama' artinya Telah Selamat dan 'Yuslimu' artinyam Menyelamatkan.

Dengan demikian agama Islam merupakan agama yang mempunyai pengertian suatu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada masyarakat melalui nabi Muhammad Saw., sebagai Rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang hanya mengenai satu segi dan tetap mengenai berbagai pedoman dari kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil dari berbagi aspek itu ialah al-Qur’an dan hadits.


B. Peran Islam dari Masa ke-masa

Semenjak masa nabi Muhammad SAW, Islam tidak pernah berubah dari pandangan hidup manusia. Bahkan islam juga telah dijadikan sebagai objek studi pokok dalam kalangan pendidikan di Indonesia. 

Islam di masa ke masa juga tidak pernah tidak berkembang, sejak masa nabi dan sampai sekarang Islam terus dikaji secara ilmiah dan tidak cukup dengan amalkan saja peran Islam dalam kehidupan sangat penting dalam masyarakat. Peran Islam dalam kehidupan manusia tepatnya menjadikan Islam itu sendiri sebagai objek kajian ilmiah atau cukup dijadikan pedoman hidup yang tampak perubahan dan kekurangan. 

Permasalahan semacam ini sebenarnya merupakan permasalahan klasik yang menjadi perdebatan pada abad pertengahan antara al Ghazali dan Ibn Rusyd, yang mempertanyakan bagaimana hukumnya mempelajari Islam, peran Islam dalam kehidupan masyarakat sangat besar, karena Islam adalah suatu jalan yang paling benar, dan agama yang diakui Allah dan dijadikan pedoman bagi umat Islam, peran Islam dari dulu sampai sekarang terus berkembang dengan adanya kajian-kajian terdapat dalam Islam itu sendiri, dengan adanya pemikiran-pemikiran para filosof yang mengkaji Islam dan mengembangkan dari masa ke masa sampai sekarang Islam berperan penting di dalam negara kita dan kita ketahui Islam itu berkembang di negara kita karena kita adalah negara yang banyak Islam di banding negara lain dan Islam sangat berperan penting untuk masyarakat yang didalamnya menganut agama Islam.[2]


C. Peran Islam Dalam Kehidupan Manusia

Membicarakan islam pada dasar nya membicarakan fungsi atau kegunaan. Dalam kajian-kajian ilmu sosial terdapat teori structural fungsional yang konsep dasar nya di rumuskan oleh para filosuf. Kami tidak bermaksud untuk menjelaskan secara mendalam, tetapi hanya memperkenal nya. Emile Durkheim (1858-1917), ahli sosiologi dari farncis, memperkenalkan masyarakat organis. Durkheim percaya bahwa norma-norma akan terancam oleh pembagian kerja yang berlebihan.[3]

A.H. Hasanuddin mengemukakan beberapa fungsi agama yang secara umum dibutuhkan bagi kehidupan manusia yaitu:

1. Mendidik manusia, jadi tenteram dan damai, tabah dan tawakal, ulet dan percaya pada diri sendiri. 
2. Membentuk manusia jadi berani berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan dengan kesiapan mengabdi dan berkorban.
3. Mencetak manusia jadi sabar, enggan atau takut untuk melakukan pelanggaran yang menjurus kepada dosa.
4. Memberi sugesti manusia, agar dalam jiwanya tumbuh sifat mulia terpuji dan penyantun, toleran kepada dosa.

Sementara tujuan utama atau visi dari agama islam itu sendiri berupa:

1. Membangun persatuan ummat secara teratur sesuai dengan perintah Allah SWT dan ajaran-ajaran Rasullah SAW dalam segala aspek kehidupan, usaha dan pergaulan.

2. Memiliki syarat, sifat, kekuatan, kecakapan untuk memperoleh daya guna menyelamatkan Bangsa dan Negara.

3. Menjaga tetap terpeliharanya hubungan baik, kerjasama, persatuan antara ummat islam dengan golongan lain yang dapat diperoleh faedah dan manfaatnya.

Disini islam mempunyai prinsip dasar yaitu mengenai keutamaan, kebesaran, kemuliaan, keberanian, Hanya dapat dicapai karena ‘’Tauhid’’, Tegasnya: menetapkan lahir dan bathin “Laa illaha illal Laah’’, tidak ada sesembahan apapun juga melainkan Allah SWT.[4]

Dalam pandangan Durkheim, Manusia setelah dibebani oleh hukum, dalam perbuatannya selalu berada di antara baik dan buruk dan setelah dia meninggal dunia, kesan perbuatannya akan selalu dikenang oleh mereka yang masih hidup didunia. Meliputi semua kehidupan masyarakat pertama, tetapi tempat nya menjadi lebih terbatas dalam masyarakat kedua.[5]

Dengan demikian kita bisa mencoba memahami bahwa peran itu adalah dalam struktur. Dalam pengertian ini, jita bisa menyederhanakan pemahaman kita kepada diri kita sendiri dalam dataran fisik. Tubuh terdiri atas dua kaki, perut kepala, tangan dan lain sebagai nya, oleh karena itu, kita merupakan satu kesatuan yang dapat kita sebut sebagai struktur. Setiap anggota tubuh berfungsi terhadap anggota tubuh lain nya, baik dalam fungsi maupun dalam sumber intern lain nya.

Tubuh kita yang dimaksud disini, dapat di tarik dalam wilayah yang lebih luas, misal nya masyarakat. Dalam masyarakat terdapat struktur kemasyarakatan yang satu dengan yang lain saling berkaitan dalam memberikan fungsi. Fungsi salah satu komponen baik dalam masyarakat mekanis maupun dalam masyarakat organis terhadap peran agama islam, kita memerlukan dua komponen dalam kehidupan sosial, yang menurut kami penting adalah yang pertama: hubungan antara perintah tauhid, dan cegahan syirik dengan ilmu pengetauan. Dan yang kedua, paradigma ilmu islami yang kini sedang di galak kan oleh cendikiawan muslim.



D. Hubungan Tauhid Dengan Ilmu Pengetauan

Dari segi unsur kebudayaan, agama merupakan universal cultural, arti nya terdapat di setiap daerah kebudayaan di mana saja masyarakat dan budaya itu berada. Salah satu teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendiri nya. Dengan kata lain, setiap keadaan memiliki fungsi, konsekuensi nya setiap budaya yang tidak berfungsi akan lenyap atau akan sirna. Karena dari sejak dulu dan sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensi nya, berarti ia mempunyai dan memerankan sejumblah peran dan fungsi di masyarakat.

Perintah yang sangat mendasar dalam ajaran islam adalah mengesakan Tuhan dan mencegah berbuat syirik kepada nya. Dalam Al-quran surat Al-ikhlas 1-4, yang arti nya: Allah berfirman “ katakanlah “ Dia lah Tuhan yang maha Esa, Allah adalah tuhan yang segala nya bergantung kepada Nya, Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Dan tidak seorang pun yangsetara dengan Dia”[6].

Dengan demikian, tauhid mendoromg manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam karena sudah di tundukkan kepada manusia. Perintah menegaskan itu di baringi dengan penegasan perbuatan syirik, jika manusia menyekutukan Allah, berarti ia di kuasai oleh alam, padahal manusialah yang harus menguasai bumi kerena bumi telah di tundukkan oleh Allah Swt. Demikian juga, sumbangan atau peran islam dalam kehidupan manusia adalah terbentuk nya suatu komonitas yang berkecendrungan progresif, yaitu komonitas yang dapat mengendalikan, memelihara, dan mengembangkan kehidupan melalui pengembangan ilmu atau sains. Pengembangan dan penguasaan sains bukan saja termasuk amal soleh, melainkan juga dari komitmen Keimanan kepada Allah Swt.


E. Paradigma Ilmu-Ilmu Islami

Sekarang ini yang kita hadapi pada ilmu bukan Islam (ilmu agma atau nonagama). Di Negara kita, perbedaan ini dapat dilihat dari istlah yang diapakai: sekolah agama atau madrasah adalah sekolah-sekolah yang mengajarkan agama islam, sedangkan bagi sekolah yang fokus kajiannya pendidikan umum, istilah teknis yang digunakannya adalah Sekolah. Jadi, di Indonesia antara sekolah dengan Madrasah berbeda, padahal anatara Madrasah (bahasaa arab) dan sekolah (bahasa Indonesia) hanya berbeda asal-usul bahasa; yang satu bahasa Arab sedangkan yang satu lagi Bahasa Indonesia.

Nurcholis Madjid (1998: 3-4) pernah menjelaskan tentang hubungan baik organic antara iman dan ilmu dalam islam. Menurutnya, Ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memeperatikan dan memahami alam raya ciptaanNya, sebagai manifetasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya.[7] 

Dalam proses mengenal tuhan, manusia hanya menerima tanda-tanda yang diberikan-Nya. Dalam bahasa arab, kata “Ilmu” satu akar kata dengan kata “alam” (bendera atau lambang), “alamah” (alamt atau pertanda), dan “ a’lam” (jagad raya, univers). Ketiga harus diketahui atau dimaklumi, yakni menjadi objek pengetahuan. 

Manusia hendak menyikap rahasia Allah tanda nya berupa jagad raya, menggunakan perangkat berupa ilmu perhitungan “faraidz” yang berupa matematika, ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi dan falaq. Manusia hendak nya memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yaitu berupa manusia, yang akan menghasilkan berbagai ilmu. Dari segi perhitungan fisik, pendalaman terhadap struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran. Sedangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila di kaji secara kolegtif atau kelompok, kajian terhadap manusia menghasilkan ilmu sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, ekonomi, sejarah, politik, dan sebagainya.


F. Hubungan Islam Dengan Budaya Lokal

Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah keislaman itu sendiri. Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam dunia lokal. 

Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif. Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam, dan Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus memahami Al-Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.

Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional untuk memperingati hari besar Islam yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal[8].

Baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan. 



BAB III 
PENUTUP


A. Kesimpulan

Agama Islam merupakan agama yang mempunyai pengertian suatu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada masyarakat melalui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.

Peran islam dalam kehidupan manusia tepatnya menjadikan Islam itu sendiri sebagai objek kajian ilmiah atau cukup dijadikan pedoman hidup yang tampak perubahan dan kekurangan.

A.H. Hasanuddin mengemukakan beberapa fungsi agama yang secara umum dibutuhkan bagi kehidupan manusia yaitu:
1. Mendidik manusia, 
2. Mewujudkan keadilan,
3. Mencetak manusia jadi sabar, dan
4. Memberi sugesti manusia.

Tauhid mendoromg manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam karena sudah di tundukkan kepada manusia. 

Ketiga perkataan ini, alam, alamah, dan alam mewakili gejala yang harus diketahui atau dima’lumi, yakni menjadi objek pengetahuan.

Baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan



B. Saran

Saran pemakalah kepada yang membaca makalah ini, apabila terdapat kesalahan dan kejanggalan dalam makalah kami mohon memberikan saran atau kritikan yang membangun terhadap pemakalah agar makalah kedepannya bisa lebih baik dari pada sekarang ini.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Atang abdul hakim, Jaih mubarok, Metodeologi Studi Islam, Bandung:Remaja Rosda karya.2011
Barmawie umary, Materia Akhlak, Solo:Ramdani.2000
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Macam Aspek, Jakarta: UI-Press.1995.
Hasbi Ash-shiddieqi, Al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1997
http://susanto-edogawa.blogspot.com/2013/07/perkembangan-politik-islam-di-indonesia_17.html. diakses 20/11/2013
Nasr sayyed tasser, The Heart Of Islam, Bandung:PT.MizanPustaka,2007
Nurcholis madjid, Islam Doktrin & Peradaban, Bandung:Remgia resada karya.2011


End Nott:

[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Macam Aspek, UI-Press. Jakarta: 1995. Hal.9
[2] http://susanto-edogawa.blogspot.com/2013/07/perkembangan-politik-islam-di-indonesia_17.html, diakses 20/11/2013
[3] Atang abdul hakim, Jaih mubarok, Metodeologi Studi Islam, (Bandung:Remaja Rosdakary2011), Hal.12
[4] Hasbi Ash-shiddieqi, Al-Islam, Bulan Bintang, Jakarta:1997, Hal.27-28
[5] Atang abdul hakim,__________Hal.13
[6] Atang abdul hakim,__________Hal.15
[7] Barmawie umary, Materia Akhlak, Solo, Ramdani:2000, Hal.84
[8] Nata, Abuddin. Metodologi StudiIslam. Jakarta, Rajawali Pers: 2009. Hal. 22-23
Unknown

MAKALAH : Taarudh Al Adillah

TA’ARUDH AL-ADILLAH


A. Pengertian Ta’arudh Al-Adillah
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil. Secara Istilah Ta’arudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat terjadi antara Ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, kaerna pada hakikaktnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan.                          
Diantara beberapa definisi Ta’arudh al- Adillah menurut beberapa ahli ushul fiqh diantaranya yang dikemukakan oleh  Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.
Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.
B. Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain:
  1. Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
  2. Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhannisebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhannikarena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama
C. Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1.    Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi
2.    Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi
3.    Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
a.              Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq)
Cara mengamalkannya dapat ditempuh dengan cara:
ü  Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Contoh: firman Allah QS. Al-Baqarah: 240
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
ü  Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah: 228 yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tiga kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usahatakhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
b.        Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
Nasakh. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang artinya:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
Tarjih. Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
c.       Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
·         Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
·         Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
                                                   


                                                       
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004, Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra al-Fikr, Cet.ke-2Jakarta: Zikrul Hakim,
Khalaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1,1997,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Yahya,Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami.Bandung :Al-Ma’rif